Dosakah diri ketika iri akan tingginya tangga yang dipijak manusia lainnya?
Sungguh pemikiran yang amat getir ketika relung hati berteriak menggaungkan keinginan yang tak terealisasikan.
Bolehkan mengamalkan Al Quran untuk mengharapkan dunia. Seperti terus menerus membaca Al Waqiah untuk mendapatkan rezeki yg banyak,boleh tidak seperti itu dan apa hukumnya?
Apa bedanya jika suasana tempat ku berada sama sunyi nya dengan sebuah gua di dasar laut ?
Jika memang seperti ini kupikir tak usahlah aku kembali lagi ke tempat itu. Yang kukira suasana yang kudambakan menemani. Memang, percuma saja rasanya!
Aneh sekali aku ini. Berbicara seperti ini,sperti seseorang yang tak tahu bagaimana caranya bersyukur saja.
Dengar! Wahai jiwa dan raga. Lihatlah ke bawah untuk sesuatu yang mewah agar diri dapat merasa cukup. Akan tetapi lihatlah ke atas untuk sebuah kesuksesan agar diri termotivasi tuk realisasikannya.
Iringilah setiap langkahmu di alam ini dengan doa dan usaha. Insya Allah hal itu tak akan memberikan hasil yang nihil. Percayalah Allah SWT tak akan memberikan hamba-nya sesuatu yang diluar kemampuannya. Insya Allah.
Kupikir ramai lebih baik dari pada sunyi.
Ketika itu jiwa raga serasa hampa,ditengah kesunyian sekitar. Ditemani derasnya air mata ku jalani setiap halnya. Kala itu kilasan hal-hal yang kujalani bersama orang terkasih terus berputar. Dititik itu ku putuskan tuk pergi dari kesunyian selagi dapat dan berdiam ditengah kehangatan ramainya orang terkasih.
Namun setelah ku dapat kehangatan tuk sekian menitnya. Kehangatan yang tercipta dari hadirnya orang terkasih serta riuhnya suara-suara yang terlontar dari bibir mereka kian lama kian membuat ku jenuh.
"Tidak! Bukan ini yang ku harapkan, bukan ini yang ku nanti. Bukann bukann bukannn !!!!"
Teriak ku dalam hati. Mereka bersuara, mereka menciptakan kehangatan, mereka membuat ku tidak kesepian, mereka menyadarkan ku akan dunia yang riuh gemerlap dengan segala keunikannya.
Bayangan ketika diri ini melemparkan segala sesuatu yang ada. Ketika tangan ini membanting seluruh benda-benda disekitar. Kerap kali hal itu terwujud. Namun syetan lah yang melakukannya. Lega diri ini setelah melakukan itu.
Lihat! Benda itu berserakan terpecah bahkan hancur begitu saja. Rugi! Ya,memang. Namun tidak ada yang bisa memuaskan hati selain keinginan terpendam terpenuhi. Meronta dalam hati inginnya diri melakukan hal itu.
Berdasarkan kenyataan,ketika ku lakukan itu kenyataan yang ku jalani mungkin semakin baik atau bahkan semakin buruk. Ku pikir orang-orang disekitar memandang ku hilang akal atau sesuatu telah menggantikan jiwa ku,namun yang terjadi itu berdasarkan raungan hatiku.
Ya,hati ini meronta meminta sesuatu yang tak biasa. Celotehan ini membuatku merasa telah membanting segala sesuatu disekitar. Sayangnya raungan kesunyian tetap berjalan dan belum terdendangkan.
Hey! Ternyata berbasah diri ketika berpakaian melegakan hati yang sedang terbakar. Cobalah oleh mu. Semuanya serasa hilang tersapu air yang mengalir itu. Dingin merembes melewati benang-benang terjahit lalu mengalir membasahi kulit tubuh ku . Lalu,ku guyur kepalaku hingga basah kuyup. Tak peduli apa kata orang,yang terpenting diriku telah sejuk. Tapi, apa benar ketika ku basahi seluruh tubuhku api yang terpendam itu hilang seluruhnya. Atau, apakah yang mengguyurkan air itu syetan pula yang berhasil masuk kedalam pikiran ku? Ah, sudahlah. Toh, hal itu sudah terjadi. Aku sudah basah kuyup seperti ini,dan api itu sudah sedikit padam. Terimakasih,air. Tidak, tapi terimakasih Ya Allah.
Hmm. Yang ku bayangkan ketika itu, sebelum ku bergelung dengan hangatnya suasana ini ku ingin menumpahkan segala hal yang menyesakkan jiwa raga ini kepada orang terkasih, seperti kala itu. Namun, apa daya ketika suasana hangat telah berubah menjadi dingin secara perlahan. Orang terkasih itu sudah seperti orang-orangan sekali. Bahkan seperti wayang kulit terkendali. Ia sudah tak bisa lepas dari sang pengendali. "Hah, lucu sekali. Memangnya Avatar, api lah pengendali lah, dasar kau. Lucu sekali dalam membuat karya."
Namun, ku tutup pendengaran dan ku lanjutkan menuliskannya. Ya, ia telah hilang kendali atas dirinya sendiri. Bukankah hal tersebut sungguh janggal? Bagaimana bisa seorang berotak kehilangan kendali atas pikiran dan tubuhnya sendiri? Apakah ia telah kehilangan jiwanya? Hah, sungguh mistis sekali dikau ini.
"Lihat! Dirinya itu bagai dicabut pita suara serta terputus jaringan otaknya."
"Hey, sarkastik sekali kau ini!"
"Jangan salahkan aku,memang faktanya seperti itu."
"Berdalihlah, agar perkataan yang kau lontarkan itu setidaknya agak halus. Sekiranya kau masih memiliki nurani yang utuh bukan?"
"Coba kau lihat sendiri,hatiku ini merah atau hitam!"
Bagaimana bisa ku curahkan keluh kesahku pada orang yang terkendali? terkendali sepenuhnya.
Tidak,tidak mungkin ku ungkapkan segalanya pada dirinya. Yang ada, dia yang menumpahkan api pada diriku.
Lucunya, struktur keluarga ini. Hah, dimana dalam sudut pandang ku ketika ia bersikukuh dengan segala pendapatnya, ketika ia berkeluh-kesah akan posisi yang ia dapatkan, ketika eginya yang tinggi ingin segala sesuatunya terwujud, ketika hasratnya ingin selalu didengar dan ketika itu juga terlaksana.
Apa bedanya ia dengan egoisme? Harus apa diriku ini? Tak jarang terlintas dalam benakku, bahwa ia unik dan spesial. Dan untuj melayani nya pun dengan lpang dada dan segenap hati haruslah rela menghempaskan keutamaan diri. Ya, ketika aku ingat bahwa ia memiliki keunikan diluar nalar.
Berkaitan dengan yang sebelumnya, bahwa orang itu egoisme. Namun ketika dibandingkan dengan jasa nya mungkin seimbang. Ketika dilihat seberapa banyak yang dilakukan kepada sekeliling nya, ia pantas seperti itu. Akan tetapi, menurutku tidak sepantasnya ia menggunakan legitimasi akan jasanya untuk sewenang-wenang seperti itu. Sehingga menimbulkan pandangan negatif kepada orang lain.
Ya, memang seorang yang berakal harus mengalah terhadap yang agak hilang akal. Tidak mengenal tua atau muda bahkan gender. Utamakanlah yang lebih membutuhkan pertolongan akal, lalu buanglah ego mu sendiri untuk kemaslahatan sekitar.
"Setelah itu apa?"
"Ya, lihatlah bagaimana manusia yang kita prioritaskan itu."
"Oh, baiklahh. Akan tetapi bagaimana jika seseorang yang membuang egonya itu menjadi agak tersesat pula?"
"Apakah ia masih harus memprioritaskan untuk menbuang seluruh eginya dan menjadi benar-benar tersesat bak hilang terkubur bumi?"
"Hey, sebenarnya apa yang sedang kau ungkapkan ini wahai penulis?"
"Entah, hanya ingin ungkapkan realita yang dialami. Sebenarnya, aku hendak meminta pendapat kalian mengenai bagaimana kisah yang ku alami."
Mengenai psikologis, yang sebenarnya penulis masih buta akan hal itu. Ya, buta secara teoritik. Sejatinya sejak kanak-kanak diri ini telah ditusuk oleh tajamnya pisau pendidikan. Yang dimana para pendidik pemula menancapkan runcingnya mata pisau pondasi pendidikan pada diri ini.
Sekilas dulu saja tentang : Runcingnya Mata Pisau Pendidikan.
Heyy! Dengarr !!!
Klise benda-benda yang berserakan, berterbangan dan terbuang kembali melewati alam khayal ku. Sungguh, menakjubkan. Kadang kala sembari ku tutup mata dan berdiam tak berkutik sama sekali, raga ku serasa melayang mengikuti irama kata hati yang memegang suatu benda lalu ku angkat, ku balikan, ku tendang, ku lemparkan-lemparkan, terus menerus ku tendang dan ku lemparkan hingga sampai batasnya hati ini meronta dan tak dapat menahan air mata tuk mengalir. Ku akhiri kunjungan ku di alam khayal "syetan" itu.
"Hey! Astaghfirullah haladzim. Bukankah jau Islam? Bukankah kau telah lulus mempelajari ilmu akhlak dari satu madrasah ke madrasah lainnya, bahkan sekarang ini kau sedang menepati posisi tertinggi dalam hirarki pendidikan. Apakah semua itu tak cukup bagimu tu tidak mengikuti aliran amarah?"
"Tidak-tidak, bukannya diri tak becus dalam mempelajari keagamaan itu. Namun ini perihal yang berbeda. Katanya ini pun perihal psikologis dan mental pula. Ya, seperti itu lah katanya. Kata seorang terkasih yang candu akan suatu ekspektasi. Haha."
Bukannya dia memusuhi mu. Mungkin ia hanya ingin sejenak beristirahat dari kehampaan diri akan tuntutan tuk memusnahkan ego nya. Apakah itu salah?
Menjauh dari seorang yang menuntut mu tuk mengalah sepenuhnya akan psikologis-an?
Hmmm..?
Kulihat langit dimanapun ditemani suasana dingin tetap saja sama. Karena,ya kau tahu sendiri kan. Segalanya ditentukan dengan suasana, mau secerah apapun langit membentang ketika suasana sekitar begitu keruh nan dingin tetap saja yang terasa oleh diri hanya kelabu hitam.
Hebat sekali panggung opera ini. Sungguh menakjubkan. Patut diberi penghargaan pertunjukan seperti ini.
Benda tersayang terbuang, hati menjadi malang. Bukang karena kesengajaan namun tak terduga tanganku ini penyebabnya. Sungguh, naas.
Bukannya sok sibuk, tapi kebutuhan.
Lalu, kau tidak butuh kami?
Bukannya tidak butuh, namun itulah prioritas diri.
Apakah sudah kau teliti dengan bijak mana yang termasuk prioritas itu?
Sudah, dengan sangat. Namun sudut pandang lah yang memang tak sama. Menuntut pada perbedaan yang tak jarang memicu pertikaian.
Sungguh? Naas sekali paradigma untuk seukuran manusia seperti mu.
Lalu?
Sudahlah.
Baiklah, terimakasih kareana telah melepaskanku dan tidak benci terhadap ku bahkan kau masih merajut tali agar kita dapat terus terhubung di sautu waktu nanti.
2'09'19
Sungguh pemikiran yang amat getir ketika relung hati berteriak menggaungkan keinginan yang tak terealisasikan.
Bolehkan mengamalkan Al Quran untuk mengharapkan dunia. Seperti terus menerus membaca Al Waqiah untuk mendapatkan rezeki yg banyak,boleh tidak seperti itu dan apa hukumnya?
Apa bedanya jika suasana tempat ku berada sama sunyi nya dengan sebuah gua di dasar laut ?
Jika memang seperti ini kupikir tak usahlah aku kembali lagi ke tempat itu. Yang kukira suasana yang kudambakan menemani. Memang, percuma saja rasanya!
Aneh sekali aku ini. Berbicara seperti ini,sperti seseorang yang tak tahu bagaimana caranya bersyukur saja.
Dengar! Wahai jiwa dan raga. Lihatlah ke bawah untuk sesuatu yang mewah agar diri dapat merasa cukup. Akan tetapi lihatlah ke atas untuk sebuah kesuksesan agar diri termotivasi tuk realisasikannya.
Iringilah setiap langkahmu di alam ini dengan doa dan usaha. Insya Allah hal itu tak akan memberikan hasil yang nihil. Percayalah Allah SWT tak akan memberikan hamba-nya sesuatu yang diluar kemampuannya. Insya Allah.
Kupikir ramai lebih baik dari pada sunyi.
Ketika itu jiwa raga serasa hampa,ditengah kesunyian sekitar. Ditemani derasnya air mata ku jalani setiap halnya. Kala itu kilasan hal-hal yang kujalani bersama orang terkasih terus berputar. Dititik itu ku putuskan tuk pergi dari kesunyian selagi dapat dan berdiam ditengah kehangatan ramainya orang terkasih.
Namun setelah ku dapat kehangatan tuk sekian menitnya. Kehangatan yang tercipta dari hadirnya orang terkasih serta riuhnya suara-suara yang terlontar dari bibir mereka kian lama kian membuat ku jenuh.
"Tidak! Bukan ini yang ku harapkan, bukan ini yang ku nanti. Bukann bukann bukannn !!!!"
Teriak ku dalam hati. Mereka bersuara, mereka menciptakan kehangatan, mereka membuat ku tidak kesepian, mereka menyadarkan ku akan dunia yang riuh gemerlap dengan segala keunikannya.
Bayangan ketika diri ini melemparkan segala sesuatu yang ada. Ketika tangan ini membanting seluruh benda-benda disekitar. Kerap kali hal itu terwujud. Namun syetan lah yang melakukannya. Lega diri ini setelah melakukan itu.
Lihat! Benda itu berserakan terpecah bahkan hancur begitu saja. Rugi! Ya,memang. Namun tidak ada yang bisa memuaskan hati selain keinginan terpendam terpenuhi. Meronta dalam hati inginnya diri melakukan hal itu.
Berdasarkan kenyataan,ketika ku lakukan itu kenyataan yang ku jalani mungkin semakin baik atau bahkan semakin buruk. Ku pikir orang-orang disekitar memandang ku hilang akal atau sesuatu telah menggantikan jiwa ku,namun yang terjadi itu berdasarkan raungan hatiku.
Ya,hati ini meronta meminta sesuatu yang tak biasa. Celotehan ini membuatku merasa telah membanting segala sesuatu disekitar. Sayangnya raungan kesunyian tetap berjalan dan belum terdendangkan.
Hey! Ternyata berbasah diri ketika berpakaian melegakan hati yang sedang terbakar. Cobalah oleh mu. Semuanya serasa hilang tersapu air yang mengalir itu. Dingin merembes melewati benang-benang terjahit lalu mengalir membasahi kulit tubuh ku . Lalu,ku guyur kepalaku hingga basah kuyup. Tak peduli apa kata orang,yang terpenting diriku telah sejuk. Tapi, apa benar ketika ku basahi seluruh tubuhku api yang terpendam itu hilang seluruhnya. Atau, apakah yang mengguyurkan air itu syetan pula yang berhasil masuk kedalam pikiran ku? Ah, sudahlah. Toh, hal itu sudah terjadi. Aku sudah basah kuyup seperti ini,dan api itu sudah sedikit padam. Terimakasih,air. Tidak, tapi terimakasih Ya Allah.
Hmm. Yang ku bayangkan ketika itu, sebelum ku bergelung dengan hangatnya suasana ini ku ingin menumpahkan segala hal yang menyesakkan jiwa raga ini kepada orang terkasih, seperti kala itu. Namun, apa daya ketika suasana hangat telah berubah menjadi dingin secara perlahan. Orang terkasih itu sudah seperti orang-orangan sekali. Bahkan seperti wayang kulit terkendali. Ia sudah tak bisa lepas dari sang pengendali. "Hah, lucu sekali. Memangnya Avatar, api lah pengendali lah, dasar kau. Lucu sekali dalam membuat karya."
Namun, ku tutup pendengaran dan ku lanjutkan menuliskannya. Ya, ia telah hilang kendali atas dirinya sendiri. Bukankah hal tersebut sungguh janggal? Bagaimana bisa seorang berotak kehilangan kendali atas pikiran dan tubuhnya sendiri? Apakah ia telah kehilangan jiwanya? Hah, sungguh mistis sekali dikau ini.
"Lihat! Dirinya itu bagai dicabut pita suara serta terputus jaringan otaknya."
"Hey, sarkastik sekali kau ini!"
"Jangan salahkan aku,memang faktanya seperti itu."
"Berdalihlah, agar perkataan yang kau lontarkan itu setidaknya agak halus. Sekiranya kau masih memiliki nurani yang utuh bukan?"
"Coba kau lihat sendiri,hatiku ini merah atau hitam!"
Bagaimana bisa ku curahkan keluh kesahku pada orang yang terkendali? terkendali sepenuhnya.
Tidak,tidak mungkin ku ungkapkan segalanya pada dirinya. Yang ada, dia yang menumpahkan api pada diriku.
Lucunya, struktur keluarga ini. Hah, dimana dalam sudut pandang ku ketika ia bersikukuh dengan segala pendapatnya, ketika ia berkeluh-kesah akan posisi yang ia dapatkan, ketika eginya yang tinggi ingin segala sesuatunya terwujud, ketika hasratnya ingin selalu didengar dan ketika itu juga terlaksana.
Apa bedanya ia dengan egoisme? Harus apa diriku ini? Tak jarang terlintas dalam benakku, bahwa ia unik dan spesial. Dan untuj melayani nya pun dengan lpang dada dan segenap hati haruslah rela menghempaskan keutamaan diri. Ya, ketika aku ingat bahwa ia memiliki keunikan diluar nalar.
Berkaitan dengan yang sebelumnya, bahwa orang itu egoisme. Namun ketika dibandingkan dengan jasa nya mungkin seimbang. Ketika dilihat seberapa banyak yang dilakukan kepada sekeliling nya, ia pantas seperti itu. Akan tetapi, menurutku tidak sepantasnya ia menggunakan legitimasi akan jasanya untuk sewenang-wenang seperti itu. Sehingga menimbulkan pandangan negatif kepada orang lain.
Ya, memang seorang yang berakal harus mengalah terhadap yang agak hilang akal. Tidak mengenal tua atau muda bahkan gender. Utamakanlah yang lebih membutuhkan pertolongan akal, lalu buanglah ego mu sendiri untuk kemaslahatan sekitar.
"Setelah itu apa?"
"Ya, lihatlah bagaimana manusia yang kita prioritaskan itu."
"Oh, baiklahh. Akan tetapi bagaimana jika seseorang yang membuang egonya itu menjadi agak tersesat pula?"
"Apakah ia masih harus memprioritaskan untuk menbuang seluruh eginya dan menjadi benar-benar tersesat bak hilang terkubur bumi?"
"Hey, sebenarnya apa yang sedang kau ungkapkan ini wahai penulis?"
"Entah, hanya ingin ungkapkan realita yang dialami. Sebenarnya, aku hendak meminta pendapat kalian mengenai bagaimana kisah yang ku alami."
Mengenai psikologis, yang sebenarnya penulis masih buta akan hal itu. Ya, buta secara teoritik. Sejatinya sejak kanak-kanak diri ini telah ditusuk oleh tajamnya pisau pendidikan. Yang dimana para pendidik pemula menancapkan runcingnya mata pisau pondasi pendidikan pada diri ini.
Sekilas dulu saja tentang : Runcingnya Mata Pisau Pendidikan.
Heyy! Dengarr !!!
Klise benda-benda yang berserakan, berterbangan dan terbuang kembali melewati alam khayal ku. Sungguh, menakjubkan. Kadang kala sembari ku tutup mata dan berdiam tak berkutik sama sekali, raga ku serasa melayang mengikuti irama kata hati yang memegang suatu benda lalu ku angkat, ku balikan, ku tendang, ku lemparkan-lemparkan, terus menerus ku tendang dan ku lemparkan hingga sampai batasnya hati ini meronta dan tak dapat menahan air mata tuk mengalir. Ku akhiri kunjungan ku di alam khayal "syetan" itu.
"Hey! Astaghfirullah haladzim. Bukankah jau Islam? Bukankah kau telah lulus mempelajari ilmu akhlak dari satu madrasah ke madrasah lainnya, bahkan sekarang ini kau sedang menepati posisi tertinggi dalam hirarki pendidikan. Apakah semua itu tak cukup bagimu tu tidak mengikuti aliran amarah?"
"Tidak-tidak, bukannya diri tak becus dalam mempelajari keagamaan itu. Namun ini perihal yang berbeda. Katanya ini pun perihal psikologis dan mental pula. Ya, seperti itu lah katanya. Kata seorang terkasih yang candu akan suatu ekspektasi. Haha."
Bukannya dia memusuhi mu. Mungkin ia hanya ingin sejenak beristirahat dari kehampaan diri akan tuntutan tuk memusnahkan ego nya. Apakah itu salah?
Menjauh dari seorang yang menuntut mu tuk mengalah sepenuhnya akan psikologis-an?
Hmmm..?
Kulihat langit dimanapun ditemani suasana dingin tetap saja sama. Karena,ya kau tahu sendiri kan. Segalanya ditentukan dengan suasana, mau secerah apapun langit membentang ketika suasana sekitar begitu keruh nan dingin tetap saja yang terasa oleh diri hanya kelabu hitam.
Hebat sekali panggung opera ini. Sungguh menakjubkan. Patut diberi penghargaan pertunjukan seperti ini.
Benda tersayang terbuang, hati menjadi malang. Bukang karena kesengajaan namun tak terduga tanganku ini penyebabnya. Sungguh, naas.
Bukannya sok sibuk, tapi kebutuhan.
Lalu, kau tidak butuh kami?
Bukannya tidak butuh, namun itulah prioritas diri.
Apakah sudah kau teliti dengan bijak mana yang termasuk prioritas itu?
Sudah, dengan sangat. Namun sudut pandang lah yang memang tak sama. Menuntut pada perbedaan yang tak jarang memicu pertikaian.
Sungguh? Naas sekali paradigma untuk seukuran manusia seperti mu.
Lalu?
Sudahlah.
Baiklah, terimakasih kareana telah melepaskanku dan tidak benci terhadap ku bahkan kau masih merajut tali agar kita dapat terus terhubung di sautu waktu nanti.
2'09'19
Comments
Post a Comment