Skip to main content

Stigma : Chapter 3 ; Fact From The Nonsense Skeptisisme


Di waktu shubuh, ku terima putusan akan lulusnya dalam suatu perjalanan jangka panjang tak abadi. Namun, tak dapat dipungkiri tatkala halangan tak dapat ditolak tuk bertamu. Setelah reda agaknya sang malas malah bertamu, naas dengan berat hati harus ku tolak kata lulus.
Terima kasih atas peluang yang telah diberikan. Akan tetapi mohon maaf, sungguh dengan berat hati dan tanpa mengurangi rasa hormat, saya tak dapat ikut dalam langkah awal sekalipun. Sekali lagi saya mohon maaf.
Terlanjur bimbang hati tuk meneruskan kalimat tersebut pada satu pihak pemutus. Maka terlebih dahulu ku sampaikan pada seorang baru yang ku percaya. Anehnya, dia termasuk baru dalam benakku. Ketika ku sunyi dalam tangis pun tak sekalipun ia terbayang. "Ah... Mungkin sudah saatnya ku membuka diri padanya."
Akhirnya ku ungkapkan alasanku menghilang belakangan ini. Tapi, tidak sepenuhnya ku curahkan semua cerita ku padanya. Ku pikir separuh dulu saja, jika saatnya tiba akan ku ungkapkan semuanya, mungkin.
Tapi, kegusaran menghantui ku. Entah mengapa diri ini begitu terikat dengan pandangan orang. Ya, sudut pandang orang yang beragam kerap menjadi pemikiran yang utama bagiku dengan tanpa rasa suudzon.
Akhirnya ku beritahu akan apa yang ingin dan bagaimana kegusaran itu pada superior tersebut.
 "Tidak apa-apa absen dari agenda tersebut. Tetap lanjutkan. Jangan mudah mengatakan mengundurkan diri dan menyerah begitu saja karena proses baru dimulai." Jawabnya.
Begitu membekas dalam benak "Jangan mudah mengatakan menyerah " itu yang ku dapat. Akhirnya kegusaran yang menghantui itu terjawab. Ya, akan ku coba berlayar dalam samudera untuk yang kedua kalinya. Namun, kali ini aku takkan terikat tu selamanya hanya kurang lebih 360 hari saja. Semoga kapal yang ku nahkodai layarnya dapat ku tegakan dengan kokoh.

~berantai~

Comments